Kasus Whistle Blower di Indonesia
Contoh yang paling popular di Indonesia tentang Whistleblower adalah ketika
maraknya pemberitaan yang menimpa Kepolisian Republik Indonesia yang berhadapan
dengan whistle blower (Komjen Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri). Skandal
ditubuh Kepolisian yang dilaporkan oleh Whistleblower ketika itu adalah skandal
makelar kasus. Atas keberaniannya mengungkap kebenaran atas pelanggaran yang
terjadi maka Komjen Susno Duadji, meraih Whistle Blower Award 2010 dari
Komunitas Pengusaha Antisuap (Kupas). Susno menang karena dinilai memenuhi
kriteria yang ditetapkan oleh panitia, yaitu laporannya berdasarkan fakta dan
bukan fitnah; memberikan dampak publik yang luas dan positif; bertujuan agar
ada langkah-langkah konkret untuk perbaikan ke depan; tidak ada motivasi untuk
memopulerkan diri dan meraih keuntungan pribadi, baik secara fisik maupun
secara finansial; serta menyadari sepenuhnya segala potensi risiko bagi dirinya
atau keluarganya. (Kompasiana.com)
Memang beberapa kalangan tertentu, terutama yang memberi arti sempit terhadap
semangat korp (esprit de corp) memandang whistleblower adalah seorang
pengkhianat karena melaporkan masalah internal institusinya kepada KPK. Tetapi
bagi masyarakat umum yang terhindar dari kerugian lebih besar akibat informasi
yang dilaporkan kepada KPK, sehingga pihak yang bersalah bisa dikenakan sangsi,
Whistleblower adalah pahlawan.
Untuk yang ingin melaporkan indikasi tindak pidana korupsi, tapi merasa sungkan
atau takut identitasnya terungkap, karena kebetulan kenal baik dengan
pelakunya, misalnya atasan, teman sekerja, dan lain-lain, seseorang bisa
menggunakan fasilitas Whistleblower. Sebenarnya, melaporkan indikasi tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh atasan kepada bagian Pengawasan Internal di
tempat seseorang bekerja bisa saja dilakukan, tapi tidak ada jaminan identitas pelapor
akan terjaga kerahasiaannya. Dengan menjadi whistleblower bagi KPK, kerahasiaan
identitas pasti dijamin KPK.
Sumber :
http://politik.kompasiana.com/2012/04/11/whistleblower-pahlawan-atau-pengkhianat-454038.html
Contoh
Kasus Iklan Tidak Etis
Kasus Iklan Tidak Etis Antara
Telkomsel Dengan XL
Salah satu contoh problem etika bisnis yang marak pada tahun kemarin adalah perang provider celullar antara XL dan Telkomsel. Berkali-kali kita melihat iklan-iklan kartu XL dan kartu as/simpati (Telkomsel) saling menjatuhkan dengan cara saling memurahkan tarif sendiri. Kini perang 2 kartu yang sudah ternama ini kian meruncing dan langsung tak tanggung-tanggung menyindir satu sama lain secara vulgar. Bintang iklan yang jadi kontroversi itu adalah SULE, pelawak yang sekarang sedang naik daun. Awalnya Sule adalah bintang iklan XL. Dengan kurun waktu yang tidak lama TELKOMSEL dengan meluncurkan iklan kartu AS. Kartu AS meluncurkan iklan baru dengan bintang sule. Dalam iklan tersebut, sule menyatakan kepada pers bahwa dia sudah tobat. Sule sekarang memakai kartu AS yang katanya murahnya dari awal, jujur. Perang iklan antar operator sebenarnya sudah lama terjadi. Namun pada perang iklan tersebut, tergolong parah. Biasanya, tidak ada bintang iklan yang pindah ke produk kompetitor selama jangka waktu kurang dari 6 bulan. Namun pada kasus ini, saat penayangan iklan XL masih diputar di Televisi, sudah ada iklan lain yang “menjatuhkan” iklan lain dengan menggunakan bintang iklan yang sama.
Dalam kasus ini, kedua provider telah melanggar peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip dalam Perundang-undangan. Dimana dalam salah satu prinsip etika yang diatur di dalam EPI, terdapat sebuah prinsip bahwa “Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.” Pelanggaran yang dilakukan kedua provider ini tentu akan membawa dampak yang buruk bagi perkembangan ekonomi, bukan hanya pada ekonomi tetapi juga bagaimana pendapat masyarakat yang melihat dan menilai kedua provider ini secara moral dan melanggar hukum dengan saling bersaing dengan cara yang tidak sehat. Kedua kompetitor ini harusnya professional dalam menjalankan bisnis, bukan hanya untuk mencari keuntungan dari segi ekonomi, tetapi harus juga menjaga etika dan moralnya dimasyarakat yang menjadi konsumen kedua perusahaan tersebut serta harus mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat.
Sumber
:
Contoh Kasus Hak Pekerja
Masalah Buruh Domestik Separah Kasus
TKI
Permasalahan buruh di dalam negeri sama parah dan seriusnya
dengan berbagai kasus yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri.
Bentuk permasalahan, yakni eksploitasi, ternyata juga dialami tenaga kerja di
dalam negeri.
Ada persoalan di negara ini di mana apa yang dialami pekerja
dalam negeri sama seriusnya dengan yang dialami TKI di luar negeri. "Ini
terjadi karena jaminan perlindungan yang menjadi tanggung-jawab negara masih
sangat lemah," kata Anggota Subkomisi Mediasi Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) M Ridha Saleh. Contoh kasus terakhir adalah penganiayaan
terhadap sejumlah pembantu rumah tangga di tempat penampungan PT Tugas Mulia,
sebuah agen penyalur pembantu rumah tangga di Batam. Kasus ini terungkap
setelah sebagian pembantu rumah tangga lari dari tempat penampungan pada 19
Juni.
Fakta yang dihimpun Komnas HAM pasca kejadian, menurut
Ridha, setidaknya ada empat hal yang semuanya bermuara pada praktik
eksploitasi. Hal itu meliputi perampokan terhadap hak-hak buruh, tindak
kekerasan, tindak asusila, dan adanya kasus tenaga kerja meninggal dunia. Sebanyak
sembilan tenaga kerja yang lari dari PT Tugas Mulia telah melaporkan kasus
tersebut ke polisi. Sejauh ini, polisi telah menetapkan dua tersangka, yakni
Budi Sembiring dan Hodi alias Asiong, masing-masing adalah sopir dan tangan
kanan bos PT Tugas Mulia. "Tidak menutup kemungkinan, praktik
eksploitasi seperti ini juga terjadi di perusahaan-perusahaan lain baik di
Batam maupun di kota-kota lainnya," kata Ridha.
Berdasarkan catatan Kompas, eksploitasi tenaga kerja juga
terjadi di sebagian perusahaan galangan kapal di Batam yang menyerap ribuan
tenaga kerja. Contohnya berupa upah rendah, tunjangan nihil, Jamsostek tak
jelas, dan status kontrak dilestarikan dengan cara buruh diping-pong dari
perusahaan subkontraktor satu ke perusahaan subkontraktor lainnya.
Ketua Konsulat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Kota
Batam Nurhamli menyatakan, terjadi ketimpangan antara tuntutan dan risiko kerja
di satu sisi dengan imbalan di sisi lain. Buruh di mata perusahaan hanya
dinilai sebagai mesin produksi sehingga biayanya harus ditekan seminimal
mungkin. Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Batam Riky
Indrakari, menyatakan, telah terjadi eksploitasi dan perdagangan terhadap buruh
galangan kapal. Lemahnya pengawasan mulai dari Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi sampai Dinas Tenaga Kerja Kota Batam menyebabkan pelanggaran terus
terjadi. "Bahkan
saya berani bilang, telah terjadi perbudakan atas buruh galangan kapal. Dan ini
dilakukan secara serentak oleh berbagai oknum yang mencari keuntungan
pribadi," kata Riky.
Sumber
:
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO kasus antara
Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree
copy paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar.
Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping
(BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan
akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor
woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar
AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.
Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk
menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea
mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara
lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan
printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade
Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC
mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik
kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat
0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC
menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan
ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat
diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia
mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan
konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal
mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa
(Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk
Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan
dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan
agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap
produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan
dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan
bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik
Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.
Sumber
:
http://destiputrilarassati.blogspot.com/2013/11/norma-dan-etika-pada-pasar-bebas.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar